Kamis, 21 Mei 2015

Si Gila yang Berstatus

Cerita Pendek Ahmad Shofiyullah

Pukul15.00 WIB seperti biasanya, suasana pada hari selasa, suasana yang selaluberbeda pada pukul 15.00 WIB hari yang lainnya, entah itu senin, rabu, kamis,jumat, apa lagi hari week end. Seolah hari selasa merupakan hari yang yang dinanti yang juga di benci. Di benci karena akan bertemu dengan orang yang saklekdi nanti karena akan bertemu dengan orang legowo.
Saklekdengan apa yang ia katakan dan legowo dengan kebijakannya. Saklek karenadidikan masa lalunya, dan legowo dengan pengalaman hidupnya di masa silamnya. Keduanyamemberi arti yang berarti bagi kami, kami yang masih dalam proses berjalan kedepan. Tak ada yang salah dai mereka, dengan adanya mereka bumbu kehidupan kamilebih terasa, terlebih pada diriku, diriku yang terbiasa dengan saklek merasaaneh di awal ketika bertemu dengan orang legowo dengan kebijakannya.kini telahberputar 180 derajat dari kehidupan masa silamku, namun terkadang ke arah 90derajat.
Pukul15.00 WIB mereka yang berstatus sebagai mahasiswa melupakan kemahasiswaannyatak hanya mereka sering kali hal itu kurasa, bertepatan juga pada pukul 15.00WIB rasa itu pasti muncul. Asik sendiri dengan dunianya seolah keramaian kotayang hingar bingar dipaksa pindah ke dalam ruang yang sempit bahkan untukmobilpun hanya cukup di isi dua. ruang yang berukuran satu kelas di bagimenjadi dua dengan bentuk persegi panjang, berumus panjang kali lebar dengankapasitas volume sekitar empat puluhan mahasiswa dan satu kursi dosen, ditambah dengan kelengkapan aksesorisnya, Kabel proyektor, layar proyektor, duakipas angin dan beberapa lampu Neon dan stop kontak, di suguhkan kepada mereka denganmerek yang ternama untuk menunjang kegiatan supaya lebih tertata
Pukul15.00 WIB suasana kota di dalam jauh berkebalikan dengan suasana di luar, diluar tampak berbagai makam yang tak kasat mata dengan berbagai pohon yangrindang hanya susananya saja yang hadir. Terletak di ketinggian sekitar limasampai tujuh meter di atas permukaan tanah pegunungan di tambah dengan posisigedung yang persis di ujung barat gedung jurusan, di pucuk gedung di bawahnya membuatkesunyian luar dan keramaian kota di dalam semakin terasa
Pukul15.00 WIB suasana bising kota lengkap dengan kemoderenan terus terdengar, alunangadget sudah menjadi polusi telinga, polusi suara yang pastinya membuat orangmembaca enggan untuk berada di dalam ruang itu. Musik dan nada dering pesanserta telepon lengkap sudah tak terlewatkan juga suara kebisingan yang sekadarabab ngobos tanpa makna yang berarti tak hanya makna untukku mungkinnjuga maknauntuk dirinya yang lagi ngobos.
“Macamapa ini kehidupan,?”
Sejenakkusandarkan punggungku di kursi mahasiswa, kursi dan meja yang menyatu, lebihkecil dari kursi SMA atau SMP, bahkan untuk SD, letak meja yang persis dibagian sisi kanan manusia yang hanay berukuran sentimeter di kali senti menter,meja untuk satu buku dan untuk alas lengan kanan saja, mungkin karena disesuaiakn dengan keseharian orang orang indonesia dengan konsep “tangan kananlebih baik daripada tangan kiri”. Belum lama dan terasa masih kurang nyamansesuatu hal mengingatkanku pada agenda bulan depan, bulan kami harus siap dimuka umum.
“ahh..sudahlah” ucapku menghilangkan ingatanku itu.
Lewat lima belas menit, sosok yang asing di mata akademik muncul dari arah pintu,dengan gaya khas yang selalu ia tampilkan di muka umum, kaos hitam kedodoran,yang berukuran XLL di paksa menyesuaikan tubuhnya berbadan L, tak hanya kosyang ia kenakan tetapi juga celana pekerja bangunan dengan polesan sedikit,kantong tak terhingga, yang berukuran dua kali bahkan tiga kali lipat ukurankantong saku celana manusia pada umumnya, erta satu aksesoris yang tak pernahi a lupakan layaknya tukang parkir sepeda motor di jalanan, topi yang kumuh,yang ia kenanakan di mana saja dan kapan saja, tak perduli baik itu pagi, yangbanyak orang mengaharap sinar dan panas pagi untuk kehidupannya, ia justruenggan untuk mendapatkannya bahkan menjenguk saja ia tak mau, begitu juga dikala siang, di kala orang orang nyaman di gubug mereka, ia justru asik denganlapangan, mondar sana mondar sini, dan merasa gedung atau gubug bukanlah tempatyang patut untuk di singgahi kala siang menyerang. Tak terlewatkan malam,baginya malam tak ada bedanya dengan pagi, siang maupun sore, topi itu, topiyang ia kenakan seakan tak di izinkan untuk mampir di tempat lain, hanya bolehmengikat kepalanya yang berisi banyak kreativitas. Orang orang kami menyebut iaorang gila, orang unik, yang berani bertindak di luar kemampuan manusiaakademik umumnya.
Dialah si gila di kelas kami.

Semarang, 20 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar